Mengapa Kartini Meninggal
Kartini Meninggal Setelah Persalinan, Preeklamsia Jadi Penyebabnya
Apa yang ditulis oleh Kartini menjadi bukti bahwa kematian ibu adalah persoalan serius yang terjadi sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Ironisnya, masalah yang menjadi perhatiannya justru menimpa dirinya sendiri.
Berdasarkan kabar yang beredar di kalangan dokter, Kartini meninggal karena preeklampsia. Kondisi ini disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang biasanya menimpa ibu hamil dengan usia kandungan lebih dari 20 minggu.
“Kartini meninggal habis melahirkan karena preeklampsia. Tekanan darahnya naik dan sempat kejang,” kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ardiansjah Dara, mengutip dari laman CNN.
Salah satu faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia adalah ibu hamil yang berusia lebih dari 40 tahun atau malah kurang dari 20 tahun.
Seperti yang kita tahu, Kartini menikah di usia 24 tahun. Ia dipersunting oleh Bupati Rembang, K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang telah memiliki 3 orang istri.
Secara umum, penyebab kondisi ini masih belum diketahui secara pasti. Preeklampsia biasanya ditandai dengan penyempitan pembuluh darah. Selain itu, faktor seperti kekurangan nutrisi, bayi kembar, hingga penyakit diabetes, lupus, hipertensi, atau penyakit ginjal juga meningkatkan risiko terkena preeklampsia.
Isi Surat-Surat Kartini
Sebagaimana dikutip dari Intersections, surat-surat yang dikirimkan menguraikan pemikiran Kartini terkait berbagai masalah termasuk tradisi feodal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.
Dalam surat-suratnya, Kartini juga menulis keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Di sisi lain, surat-surat tersebut juga mencerminkan pengalaman hidup Kartini sebagai putri seorang bupati Jawa. Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat Kartini tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Buku pertama Dari Kegelapan Menuju Cahaya ini diterbitkan pada 1911. Kemudian, di tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayi dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru.
Surat-surat dan pemikiran-pemikiran Kartini juga mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Untuk memajukan perempuan pribumi yang memiliki status sosial yang rendah salah satunya karena pendidikan yang terbatas inilah yang kemudian memotivasi Kartini mendirikan sekolah.
Kartini kemudian mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang.
Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Kartini Meninggal Setelah Melahirkan, Bukti Tingginya Angka Kematian Ibu
Sumber: Wikimedia Commons
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Ia dikenal berkat surat-suratnya yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pikirannya yang melampaui zaman membuatnya dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional. Hari lahirnya lantas diperingati untuk mengingat perjuangan seorang perempuan dalam meraih kemerdekaan.
Di balik sosoknya yang cemerlang, tersimpan kisah pilu mengenai kematiannya. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904 di usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun. Berbagai sumber terpercaya menyebutkan, Kartini meninggal dunia 4 hari setelah melahirkan karena mengalami preeklampsia.
Kematian Kartini mengingatkan kita tentang kematian ibu yang hingga kini masih menjadi momok bagi sebagian besar perempuan. Dalam suratnya yang bertanggal 11 Oktober 1901 kepada sahabat penanya Estella Zeehandelaar, Kartini menceritakan bahwa pada zamannnya setiap tahun ada sekitar 20 ribu perempuan meninggal saat melahirkan.
“Dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai,” tulisnya dalam surat. Ia menulis surat itu ketika mendapatkan tawaran sekolah bidan.
Faktor Penyebab Angka Kematian Ibu Masih Tinggi
Kartini dikenang sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak dan kemerdekaan perempuan. Kematiannya juga menjadi pengingat bahwa kematian ibu di Indonesia adalah persoalan sejak dulu.
Mengutip dari Kompas, berikut 4 fakta Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini:
Usai Wafatnya RA Kartini
Usia Kartini bisa terbilang pendek. Tepat di usia 25 tahun, ia pun meninggal dunia setelah 4 hari kelahiran sang anak bernama Soesalit. Usai Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Saat itu, Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Kumpulan surat-surat Kartini diterbitkan dalam buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku itu kemudian menjadi inspirasi banyak orang sekaligus menjadi amunisi bagi pergerakan wanita Indonesia.
Kartini juga mendirikan sekolah perempuan bersama saudara-saudaranya, tapi hanya sekolah kecil. Ide Kartini soal sekolah perempuan itu kemudian diteruskan koleganya setelah dia meninggal. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Infografik Mozaik Ibu Kita Kartini. tirto.id/Nauval
Penulis: Yulaika RamadhaniEditor: Iswara N Raditya
Kota Jepara, Jawa Tengah (Foto: Instagram/@visitjepara)
ALASAN mengapa Kota Jepara dijuluki sebagai Bumi Kartini memang akan diulas pada artikel kali ini. Kota yang ada di sisi utara Jawa Tengah ini termasuk salah satu kota yang unik dan kerap menjadi rujukan para wisatawan.
Tak hanya destinasi Karimunjawa yang memikat namun juga wisata lainnya. Selain itu, kota ini terkenal dengan bahan baku furniture yang bagus.
Tak tanggung-tanggung, angka ekspor dari Jepara pada 2020 mencapai USD177,03 juta dengan volume ekspor mencapai 53,65 juta kilogram.
Nilai ekspor tinggi ini menyasar berbagai negara mulai dari Uni Eropa, Amerika, Timur Tengah, Australia hingga negara tetangga seperti Malaysia, Singapura hingga India.
Kota ini juga terkenal dengan kerajinan seni ukir yang mendunia. Seni ukir yang ada pun identik dengan produk furniture yang telah dikenal mendunia. Tak ayal, kota ini dijuluki dengan Kota Ukir.
Bukan saja berjuluk kota Ukir, kota yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Pati Kabupaten Kudus di Timur, serta Kabupaten Demak di Selatan ini juga memiliki julukan lain, yakni Bumi Kartini.
Lantas, apa alasan kota Jepara dijuluki sebagai Bumi Kartini?
Saat duduk di bangku sekolah mungkin tak asing dengan nama pahlawan perempuan yang memiliki jasa luar biasa ini. Ya, beliau adalah Raden Ajeng (R.A) Kartini. Pahlawan nasional ini diketahui lahir di Kabupaten Jepara pada 21 April 1879.
Sosoknya bukan orang sembarangan. Diketahui, RA Kartini adalah anak dari Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Sosroningrat dan ibunya bernama M.A. Ngasirah. Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah sosok cerdas yang diketahui menjadi bupati di usia 25 tahun.
RA Kartini dikenang sebagai pahlawan emansipasi yang mempelopori kebangkitan perempuan Nusantara terkait hak-hak perempuan dan pendidikan perempuan. Pahlawan nasional ini pun dikenal dengan motto 'Habis Gelap Terbitlah Terang'. Tak ayal, jika Jepara menyandang nama Bumi Kartini sebagai tempat kelahirannya.
Showing 1–9 of 32 results
Kartini adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan nasional yang berperan besar dalam kebangkitan perempuan Indonesia. Ia lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 dari pasangan Adipati Aria Sosroningrat dan M. A. Ngasirah. Sebelum menjadi Bupati Jepara, ayahnya menjabat sebagai Asisten Wedana onder-distrik Mayong, Jepara. Sedangkan M.A. Ngasirah adalah putri dari KH. Modirono, seorang guru agama sekaligus pimpinan sebuah pesantren dari Telukawur, Jepara.
Lingkungan masa kecilnya sangat erat dengan adat dan tradisi Jawa; dipingit dan menjadi Raden Ayu. Ia hidup dalam suasana feodalisme Jawa yang mengatur hubungan kekerabatan, sikap dan perilaku dalam suatu tata krama yang pelik dan rumit, memaksakan cara seseorang bagaimana harus duduk, berdiri, memandang, memegang tangan, menunjuk dan sebagainya (Poedjosoewarno, 1968, seperti dikutip Arbaningsih, 2005: 33).
Ia memperoleh pendidikan dasar dari Sekolah Rendah Belanda (ELS/Europeesche Lagere School) di tengah budaya feodal yang tidak mengenal anak perempuan masuk sekolah. Di sekolah, ia harus mengikuti aturan yang juga sangat feodalistik; siswa dipilah berdasarkan warna kulit serta kedudukan orang tua dalam susunan kepegawaian dan struktur sosial (A.J. Kairupin, 1903: 102-3). Awalnya Kartini kesulitan dalam berbahasa. Bahasa pengantar di sekolah yaitu bahasa Belanda. Kartini yang sehari-hari berbahasa Jawa awalnya sulit mengikuti, namun lambat laun ia mampu menguasai Bahasa Belanda dengan cukup baik (Toer, 1962). Hal ini membuatnya semakin memahami banyak hal. Berbekal pengalaman yang intens, daya kritis Kartini semakin terasah, mendorongnya menjadi ‘pemberontak’ yang menanamkan kesadaran bagi segenap masyarakat pribumi, meletakkan pondasi utama pembentukan identitas nasional.
Kemampuan bahasa Belanda yang ia peroleh dari sekolah membuka babak baru dari kehidupan Kartini. Setelah dengan rutin membaca koran Semarang, De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft, Kartini dengan kemampuan bahasa Belanda yang cukup baik berhasil larut dalam banyak isu-isu penting di majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Majalah ini diasuh oleh Johanna van Woude, nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Wermeskerken, salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda, yang secara khusus merangkum berbagai ide-ide progresif yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Di majalah De Hollandsche Lelie Kartini memuat iklan kecil tertanggal 15 Maret 1899 yang berisi tentang keinginannya berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita', khususnya gadis Belanda yang berpikiran terbuka dan menaruh perhatian terhadap isu-isu modern di Eropa (Sitisoemandari, 1986).
Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang aktivis feminis Belanda, berusia lima tahun lebih tua dari Kartini, merespons ajakan tersebut, dan sejak itu keduanya mulai melakukan korespondensi. Kartini, melalui surat-suratnya kepada Stella, menceritakan kisah hidup dan semua pengalamannya sejak kecil. Ia misalnya bercerita bagaimana ia menghabiskan waktu sebagai gadis bangsawan yang dipingit dan harus tinggal di rumah yang justru seperti ‘penjara’.
Kartini juga bercerita bagaimana adat istiadat begitu membelenggunya, terlebih baginya yang notabene seorang perempuan dengan berbagai keterbatasan dan keterkungkungan, baik dalam lingkup sosial maupun budaya. Suatu kali Kartini berkisah kepada Stella:
Meski demikian, sebagai putri bangsawan, Kartini memperoleh kecakapan hidup yang dibutuhkan seorang anak meskipun itu diperolehnya saat menjalani masa pingitan. Beberapa guru didatangkan sang ayah untuk mengajari Kartini menyulam, menjahit, memasak, membatik, termasuk membaca Al-Quran. Tujuannya semata agar Kartini memiliki kemampuan serta kecakapan yang luas (Priyanto, 2017).
Empat tahun terkungkung sebagai gadis pingitan, Kartini semakin menyadari arti kebebasan berdasarkan kehendak diri. Perlahan namun pasti, ia mulai menggugat budaya Jawa yang cenderung tak memberi panggung bagi perempuan serta didominasi maskulinitas Jawa yang memingit perempuan dari kebebasan berpikir dan cita-cita, meskipun hal itu ditujukan demi memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara. Hal ini yang membuatnya begitu sumringah ketika sang ayah mengajaknya menghadiri upacara pembaptisan sebuah gereja baru di Kedungpenjalin pada 1896. Sebagai gadis berusia 16 tahun, ajakan itu begitu menggembirakan, memberinya kesempatan untuk melihat dunia luar sebagai individu yang bebas, meskipun ketika pulang, ia kembali masuk pingitan (Chudori, Tempo, 2013: 38-39).
Namun sejak itu Kartini tidak lagi terlalu dibebani status gadis pingitan. Ia tak mempermasalahkan keputusan ayahnya agar dirinya tinggal lebih lama di Dalem Kabupaten setelah ia secara tegas menolak menjadi Raden Ayu. Bersama kedua adiknya yang juga dalam status dipingit, ia justru berupaya menerapkan prinsip kesetaraan dan belajar arti kebebasan. Mereka menjalani pergaulan yang begitu akrab, tanpa kekakuan tradisi, mendefinisikan diri sebagai Het Klaverblad atau ‘Daun Semanggi’, sehingga mendatangkan cibiran dari lingkungan sekitar. Kepada Stella, Kartini menjelaskan kondisinya saat itu, “Kami bahkan dijuluki kuda atau kuda liar karena jarang sekali berjalan, tapi pecicilan ke sana-kemari.”
Di tengah kondisi tersebut, Kartini mengajarkan kedua adiknya tentang pentingnya pendidikan dan perlunya menggiatkan aktivitas literasi, membaca banyak buku, majalah maupun surat kabar yang kebetulan tersedia di rumah mereka. Aktivitas menulis menjadi bagian penting hidup Kartini. Selain malam hari, ia mulai menulis pada sekitar pukul lima pagi. Tema tulisannya beragam, termasuk seputar persoalan kebudayaan. Pada 1898, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie, Jurnal ilmiah bidang Bahasa, antropologi, dan sejarah yang terbit sejak 1854, memuat tulisannya bertajuk Het Huwelijk bij de Kodja’s yang mengulas upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Secara detail Kartini mengulas prosesi perkawinan warga keturunan Arab di Jepara tersebut, membuatnya layak disebut sebagai antropolog pertama di Indonesia (Kwartanada seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 45).
Di tahun 1989 pula sang Ayah membebaskan Kartini dari pingitan, termasuk kedua adiknya, membuat mereka bersemangat dan merasa menjadi pribadi merdeka, setidaknya dari tradisi yang begitu mengungkung mereka. Terlebih saat itu sang Ayah mengajak mereka keluar Jepara untuk menghadiri dan merayakan penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. “Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak bergantung pada orang lain,” tulis Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899. “Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, ‘dunia’ menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami,” ujar Kartini melanjutkan (Sitisoemandari, seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 44).
Sejak itu sikap emansipatif Kartini semakin terlihat. Bersama kedua adiknya, Kartini menginisiasi berbagai kegiatan sosial, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa pengrajin yang tinggal di Blakang Gunung. Selain memberikan bimbingan dalam desain, mereka juga membantu mencarikan pemesan di kalangan para Belanda teman korespondensinya. Kartini juga mengupayakan agar orang Belanda menghargai hasil kerajinan seni ukiran Jepara. Upayanya berhasil dan membuat usaha para pengrajin dari Blakang Gunung maju berkembang. Pada 1900, Kartini dan kedua adiknya juga memperkenalkan seni batik kepada publik Belanda dalam sebuah pameran kerajinan di Den Haag. (Sitisoemandari, 1986: 103-7; Arbaningsih, 2005: 40).
Meski sibuk dengan kegiatan sosial, Kartini tetap bergumul dengan banyak bacaan, baik yang bersumber dari surat kabar, majalah, maupun buku-buku terbitan Belanda, membuatnya bersentuhan dengan wacana modern Eropa melalui pembacaan atas karya-karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis berbahasa Belanda. Aktivitas tersebut, ditambah intensitas korespondensinya dengan Stella, semakin mematangkan daya nalar Kartini. Apa yang dipikirkan dan dilakukan Kartini senantiasa menuju ke arah modernisasi, dan semakin mengukuhkannya sebagai pribadi yang kreatif dan emansipatif (Arbaningsih, 2005: 39).
Dari Stella pula Kartini mengenal konsep adeldom verplicht, kebangsawanan menanggung kewajiban—istilah serupa: noblesse oblige, keningratan membawa kewajiban (Adhitama, 1979), yang semakin menegaskan kepercayaan Kartini bahwa feodalisme bisa dibendung khususnya melalui peneguhan prinsip “makin tinggi kebangsawanan, tugas dan kewajibannya terhadap rakyat makin berat”. Dalam suratnya untuk Stella, 6 November 1899, Kartini menulis, “Kebangsawanan menangunggung kewajiban…. bodoh saya mengira bahwa kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai-bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti! Betapa pahit kekecewaan saya dalam hal ini.” (Sulastin, 1979:14)
Keluhuran budi pekerti menjadi perhatian Kartini, khususnya dalam konteks pemberian pendidikan yang baik kepada masyarakat, pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Hal tersebut, menurut Kartini, harus menjadi fokus pengajaran yang diberikan kepada masyarakat Jawa (Surat Kartini kepada Stella Z, 12 Januari 1900). Di lain kesempatan, kepada M.C.E. Ovink-Soer, Kartini menulis:
Pandangan ini menjadi titik pijak Kartini yang hidup di saat feodalisme mencengkeram kuat tanah Jawa. Dengan landasan berpikir tersebut, Kartini melancarkan pemberontakan terhadap berbagai hal yang dinilai tak memperlakukan manusia secara setara, dan itu ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Spektrum gagasan Kartini begitu luas, tidak hanya perihal kesetaraan, namun juga kebebasan seorang individu. Sering pula Kartini menuangkan refleksinya atas persoalan agama, seperti poligami yang dianggap sangat membela ego laki-laki. Ia begitu kecewa terhadap sistem poligami yang mengizinkan kaum lelaki Islam menikah dengan empat wanita. Meski dalam ajaran Islam itu dibenarkan, Kartini tetap menyebutnya sebagai dosa karena tidak adil bagi pihak perempuan. “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu,” tulis Kartini.
Dalam banyak surat yang ditulis, Kartini tak segan mengkritik kegiatan atau ajaran agama yang dianggap tidak berlandaskan asas kemanusiaan, termasuk kecenderungan masyarakat yang menjalankan ajaran agama tanpa memahaminya secara mendalam. Dalam suratnya kepada Stella, ia menulis:
Dalam konteks ini, Kartini memandang agama melalui sudut pandang yang manusiawi (Sumartana, 2013:40). Tidak hanya berlaku terhadap agama Islam, kritik juga dilancarkan kepada agama lainnya. Tentang kegiatan zending, misi Kristen berupa layanan pendidikan dan kesehatan, misalnya. Ia mengkritik zending yang pada saat itu diadakan hanya untuk menarik jemaat, bukan sepenuhnya untuk membantu sesama. Ia keberatan pada usaha zending yang sibuk dengan panji-panji keagamaan dengan tujuan mengkristenkan umat Islam di Jawa.
Sebelum mengenal Stella, Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink, adalah sosok yang pertama tama menggugah kesadaran Kartini. Marie sudah dikenalnya sejak belia, sebelum ia mulai dipingit, menyapanya dengan panggilan "Moedertje", ibu tersayang (Marie Ovink-Soer, 1925). Sebagai feminis yang juga produktif menerbitkan novel remaja Belanda, Marie Ovink-Soer menginspirasi Kartini, terlebih setelah Marie menulis di majalah De Hollandsche Lelie perihal persoalan adat perjodohan dan poligami di masyarakat Jawa yang menurutnya sangat mengerikan. Marie yang pada perjalanannya memperkenalkan Kartini pada sastra feminis Belanda, seni lukis, bahasa Belanda, serta mendorongnya untuk menulis, termasuk membujuk ayah Kartini untuk berlangganan majalah De Hollandsche Lelie untuk Kartini dan adik-adiknya (Chudori, Tempo, 2013: 14-16)
Selain kedua nama tersebut, Kartini juga melakukan korespondensi dengan Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, J.H. Abendanon. Selain berbagi kisah hidupnya, Kartini juga banyak mengutarakan pandangan tidak hanya persoalan sosial-politik namun juga kebudayaan dan agama. Dari korespondensinya dengan Rosa, tergambar ide-ide kemajuan dari Kartini khususnya terkait visinya memberdayakan perempuan pribumi agar mampu mengejar prestasi perempuan Eropa.
Nama lain yang menjadi kawan bercerita Kartini adalah Hendrik de Booy, ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, dan istrinya Hilda Gerarda de Booy-Boissevain; Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, dan istrinya, Nellie van Kol Porreij, editor Hollandsche Lelie; Dr. Nicolaus Adriani, pendeta dan ahli Bahasa di Poso; serta G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena, Jerman (Chudori, Tempo, 2013: 19). Kepada mereka Kartini menulis sekitar 114 surat (Sulastin, 1979), antara lain: Estelle H. Zeehandelaar atau Stella (14 surat); Ny. Ovink-Soer (8 surat); Prof. dr. G.K. Anton di Jena dan istrinya (3 surat); Dr. N. Andriani (4 surat); Ny. H.G. de Booy-Boissevain (5 surat); Ir. H.H. van Kol (3 surat); Ny. N. van Kol (3 surat); Ny. R.M. Abendanon-Mandri (49 surat); Mr. J.H. Abendanon (5 surat); dan E.C. Abendanon (6 surat). Surat-surat tersebut menjadi bentuk kepedulian etis Kartini atas penderitaan dan keterbelakangan masyarakat, khususnya di pulau Jawa, yang hidup dibawah sistem kolonial Belanda yang begitu menindas dan eksploitatif (Arbaningsih, 2005: 50). Melalui surat-surat itu pula Kartini hendak mengirim pesan kepada publik Hindia Belanda bahwa perempuan juga perlu diposisikan secara setara, dibebaskan dari berbagai kungkungan budaya yang ada. Ide-ide Kartini pada gilirannya menjadi manifesto emansipasi perempuan dan platform bagi dekolonisasi Jawa (Coté, 2005).
Seperti sering disampaikan kepada kedua adiknya, pendidikan bagi Kartini adalah pintu bagi kebebasan, jalan utama mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Baginya pendidikan akan memperkuat posisi dan peran perempuan di ruang publik, setara dengan laki-laki. Karena itu, pendidikan berlaku untuk semua, tak peduli jenis kelamin dan kelas sosial. Tentang ini Kartini menulis:
Hal ini memotivasinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Eropa. Alasan mengapa ia berkeinginan belajar di luar negaranya diceritakannya dengan tegas kepada Nyonya Abendanon,
Berdasarkan pandangan tersebut, Kartini ingin datang sendiri ke Eropa, menghirup nafas Eropa, merasai iklim dan cuacanya, merasakan semua keindahan dan kekayaan peradaban Barat. Kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis,
Ia didukung oleh kawan kawannya di Belanda untuk melanjutkan studi di Eropa. Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, misalnya membantu mengabulkan keinginan Kartini dengan membawa persoalan ini ke parlemen Belanda (Pramoedya, 2003: 158). Ia juga dibantu oleh Stella, sahabatnya yang memiliki jejaring luas di Belanda.
Namun iklim politik saat itu sangat tidak mendukung Kartini untuk merealisasikan niatnya. Kartini menyadari hal tersebut, seperti pesannya kepada Stella pada 1903,
Surat itu menjadi curahan hati Kartini yang pada akhirnya gagal melanjutkan pendidikan ke Belanda. Seyogianya pada April 1902 Van Kol berhasil meyakinkan pemerintah Belanda, melalui Mr. Idenburg—nantinya menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda (1909-1916)—untuk memberikan beasiswa ke Kartini dan adiknya, Roekmini. Namun setelah berbincang dengan Mr Abendanon dan Rosa Abendanon pada Januari 1903, dan dengan berbagai pertimbangan, utamanya faktor keluarga; ayahnya terbaring sakit (surat untuk N. Van Kol, 21 Maret 1903), Kartini mengurungkan niat belajar di Belanda dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Batavia (Sitisoemandari, 1986; Arbaningsih, 2005:72-73). Segera Kartini mengirim nota kepada Gubernur Jenderal Rooseboom pada 19 April 1903 terkait rencana belajar ke Batavia. Akan tetapi setelah permohonan tersebut dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Sang Ayah, Adipati Aria Sosroningrat, menarik kembali izin kepada Kartini untuk bisa belajar di Batavia.
Di tengah semangat meraih pendidikan lanjutan yang akhirnya menemui kegagalan, Kartini harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya meminta dia untuk menikah. Dengan pertimbangan membahagiakan orangtua, Kartini yang saat itu berusia 24 tahun menyetujui dan menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri. Kartini, yang begitu membenci poligami (Surat kepada Nellie Van Kol 21 Maret 1903; Surat kepada Stella 25 April 1903) akhirnya menerima takdir sebagai wanita yang dimadu. Poligami justru menjadi bagian dari kisah hidup Kartini.
Namun demikian, sang suami memberikan kebebasan kepada Kartini untuk terus mengejar cita-citanya, termasuk membangun sekolah perempuan. Pada 1903 Kartini mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Saat pertama kali dibuka, sekolah ini diikuti satu orang murid perempuan, membuat Kartini semakin gencar mendatangi para orangtua yang memiliki putri untuk bergabung di sekolah tersebut. Upayanya berhasil, muridnya bertambah menjadi lima orang dalam rentang seminggu. Mereka yang bergabung saat itu berasal dari keluarga priayi Jepara, termasuk seorang putri Jaksa Karimun Jawa. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak. Dibuka selama empat dalam sehari dari pukul 08.00 hingga 12.30. Ia menggambarkan kondisi tersebut kepada Nyonya Abendanon pada 4 Juli 1903, “Sekolah kami sudah mempunyai tujuh murid, dan permintaan baru terus mengalir. Menggembirakan, bukan?” (Chudori, Tempo, 2013: 54).
Kartini juga berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat, salah satunya pemuda-pemuda progresif siswa STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Arts) atau Sekolah Dokter Jawa. Komunikasi komunikasi dengan mereka digambarkan Kartini sebagai berikut:
Kepada mereka, Kartini menumbuhkan semangat nasionalisme. Pemikiran, gagasan, tulisan dan tindakan Kartini berhasil menumbuhkan keberanian dan kesadaran para pemuda progresif dan terpelajar di STOVIA untuk mulai berfikir dan berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kartini menjadi ‘penyulut api nasionalisme’ bagi pemuda saat itu (Priyanto, 2017).
Setahun kemudian, tepatnya pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Sayangnya, hanya berselang empat hari melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904. RA Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Sepeninggal Kartini, cita-cita membangun negeri melalui pendidikan diteruskan tidak saja oleh adik-adiknya, namun juga oleh banyak orang yang sepenuhnya menyetujui ide-ide Kartini. Pada 1912 Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer dan beberapa tokoh politik etis, membangun Sekolah Kartini di Semarang, berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, Cirebon.
Sebelumnya, sebagai upaya merawat pernik pemikiran Kartini, pada 1911 Rosa Manuela Abendanon berinisiatif menghimpun dan menerbitkan hasil korespondensi Kartini dengan Stella dan kawan-kawan pena lainnya di Belanda dalam buku yang diberi tajuk Door Duisternis tot Licht ("Dari Kegelapan Menuju Cahaya"). Buku tersebut segera menarik perhatian masyarakat luas, diperbincangkan di berbagai kesempatan oleh berbagai lapisan masyarakat. Sejak itu, beragam pemikiran Kartini mulai menggeser pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa.
Sebelum terbit salam sebuah buku, ide dan gagasan Kartini telah tertanam kuat di benak masyarakat, menginspirasi mereka untuk bertindak demi kepentingan bangsa. Ide-ide Kartini tentang semangat kebangkitan berbangsa, misalnya, menginspirasi berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.
Atas jasa-jasa yang diberikan, pada 2 Mei 1964, Presiden Sukarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hari lahir Kartini, 21 April diperingati secara khusus sebagai Hari Kartini, sebuah kebijakan yang berlaku hingga saat ini.
Penulis: Setyadi Sulaiman Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Adhitama, Toeti. 1979, dalam Haryati Soebadio, dkk. Satu Abad Kartini 1879-1979: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.
Arbaningsih, Dri. 2005. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi "Bangsa". Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Chudori, S. Leila (Peny.), 2013. Seri Buku Tempo: Gelap-Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Coté, Joost. 2005. On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute.
_________. 1992. Letters from Kartini; An Indonesian Feminist 1900-1904. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, Monash University.
Gogali, Lian. 2013. “Kartini: Habislah Gelap, Terbitkan Terang Kartini: After Darkness to A Light” dalam http://www.mosintuwu.com/2013/05/01/
Kairupin, A.J. 1903. Menadonesche School, Taman Pengajaran (Yogyakarta) V/15 Juli 1903-15 Juli 1904.
Ovink-Soer, Marie. 1925. Persoonlijke Herinnering Aan Raden-Adjeng Kartini, Amsterdam: De Bussy.
Priyanto, Hadi. 2017. Kartini, Penyulut Api Nasionalisme, Jepara: Yayasan Kartini Indonesia.
Toer, Pramoedja Ananta. 1962. Panggil Aku Kartini Saja (Bukittinggi-Jakarta: Nusantara.
Toer, Pramoedja Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta).
Sitisoemandari, Soeroto, 1986. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung
Sulastin, Sutrisno, 1979. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Djambatan, Jakarta.
Sumartana, Th. 2013. Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Penerbitan Gading.
Pengertian AKI menurut WHO
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menyebut, yang tergolong sebagai kematian ibu adalah kematian selama kehamilan atau 42 hari setelah persalinan. Kasus kematian ibu dikategorikan sebagai AKI apabila penyebabnya berkaitan dengan kehamilan dan bukan karena kecelakaan atau hal lain.
Pada tahun 1990, terdapat 390 perempuan yang meninggal dunia setiap 100.000 kelahiran. Kemudian pada tahun 2015, angka ini menurun menjadi 305 kematian setiap 100.000 kelahiran.
Tahun 2017, Bank Dunia mencatat ada 177 kematian ibu di Indonesia per 100.000 kelahiran. Angka ini masih tergolong tinggi dan bahkan menduduki peringkat AKI tertinggi nomor 3 di ASEAN.
RA Kartini meninggal dunia pada tahun 1904 karena mengalami preeklampsia. Seratus tujuh belas tahun berlalu, faktor utama penyebab AKI di Indonesia masih sama, yakni perdarahan dan tekanan darah tinggi. Faktor lain yang menyebabkan AKI adalah infeksi, aborsi tidak aman, serta komplikasi.
Penyebab Lain yang Sering Diremehkan
Selain faktor kesehatan, AKI juga disebabkan oleh faktor lain yang sering kali diremehkan. Di antaranya adalah kehamilan di bawah umur, jarak kehamilan yang terlalu dekat, tidak memeriksakan kehamilan, transportasi yang tidak memadai, hingga faktor sosial budaya.
Tak sedikit ibu hamil yang meninggal dunia karena harus menunggu keputusan suami terkait akses kesehatan. Begitu pula dengan minimnya informasi seputar kesehatan reproduksi.
Parents, Kartini meninggal setelah melahirkan di usianya yang masih sangat muda. Semoga kepergiannya bisa menjadi pengingat agar kita mau lebih memperhatikan kesehatan ibu dan janin, ya.
"Buat Saya Hari Kartini Itu Bikin Miris…"
22 Kutipan Inspiratif Ibu Kartini untuk Seluruh Perempuan Indonesia Masa Kini
Lirik dan Makna Lagu Ibu Kita Kartini, Perjuangan Memberdayakan Perempuan!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.
tirto.id - Hari Kartini tahun ini diperingati pada Kamis 21 April 2022. Sejarah atau asal mula 21 April diperingati Hari Krrtini adalah berdasarkan hari kelahiran Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat yang merupakan tokoh Pahlawan Nasional yang memperjuangkan emansipasi wanita.
Biasanya, orang-orang akan membagikan quote tentang perempuan bernama asli Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat itu sebagai dedikasi terhadap emansipasi wanita.
Sosok yang kita kenal sebagai RA Kartini ini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan putri dari Raden mas Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan seorang bupati Jepara dan ibu M.A. Ngasirah.
Peringatan Hari Kartini tersebut dirayakan setelah 2 Mei 1964, usai Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. Dalam keputusan tersebut, Kartini juga ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Pada usianya yang ke-14, Kartini telah melahirkan sejumlah tulisan, seperti “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie.
Kartini belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda menggunakan kemampuan berbahasa Belanda yang ia miliki. Salah satu temannya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Ulang tahun Raden Ajeng (RA) Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Di balik sosoknya, ada cerita pilu terkait penyebab kematiannya. Kartini meninggal setelah melahirkan di usianya yang ke-25 tahun. Ia meninggal dunia 4 hari selepas melahirkan putranya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Simak cerita persalinan RA Kartini berikut ini.